Terkesan sebagai yang selalu ingin menjadi baik di depan semua mata. Ataukah dia sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi situasi semacam ini? Semuanya hanya spekulasi saja.
Kali ini tak ingin mendalami tentang dia, mari dalami yang tanpa spekulasi dan duga-duga tak pasti saja.
Dia yang menolak, tapi tidak mengubah sikap. Dia beralasan tapi tidak merasa ada yang salah. Iya, begitulah adanya. Tapi pada suatu masa, saat dia menjadi yang tertolak (dia yang menunggu lagi; dia yang kecewa hatinya pada kejadian yang nyata; bukan lagi pada halusinasi-halusinasi berjarak ribuan kilometer itu) akhirnya dia bisa merasakan perasaan pasti terkecewakan akan suatu perbuatan. Bukan seperti sebelumnya, dimana perbuatan-perbuatan hanya bersumber dari ilusi dan dilontarkan oleh mulut cerewet itu. Bukan! Sekali-kali bukan begitu lagi.
Dia yang tertolak, tapi malah mengubah sikap. Hatinya tak pernah menghadapi kejadian nyata. Hatinya lemah selemah-lemahnya. Hatinya mengubah sikapnya terhadap si penolak. Hatinya kecewa sebenar-benarnya untuk pertama kalinya. Tidak hancur seerti sebelumnya, tak sempat menitik juga air matanya. Hanya saja dia terlampau kecewa dan tak sanggup lagi menemuinya. Lemah? Iya dia memang lemah dalam masalah yang tak sering dihadapinya ini. Malu? Bisa jadi juga demikian, malu dengan sikap kekanak-kanakan diusianya yang bisa dibilang dewasa. Bingung? Iya, dia sangatlah kebingungan dengan apa yang akan dilakukannya kemuadian.
Terlampau terlambat untuk merasa kecewa dengan kata "iya" yang nyatanya tak jadi nyata. Menelan kecewa sampai akhirnya tertidur hanya berlangsung selama dua hari lamanya. Karena pada hari ke-tiga, orang itu tepat berada dibelakangnya (muncul begitu saja). Salah tingkah dengan situasi itu, dia mengacuhkannya. Dia berbalik tanpa satu kata pun terlontar dari mulutnya.
Di lain sisi, sang penolak yang dulu tertolak itu sadar akan perubahan yang terjadi. Mereka saling tatap, dan seketika tatapan bersalah itu muncul dan bibirnya berkata "maaf" dengan lirihnya. Berharap yang tertolak memaafkannya. Harapan tinggal harapan. Bukankah itulah yang menyakitkan? Yang tertolak justru saking kesalnya hanya berkata " nanti ya" pertanda keacuhan itu sudah menjadi-jadi. Yang menolak berharap semua akan baik-baik saja.
0 komentar:
Post a Comment