Aku tidak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Kalau saja. Semua ini tidak akan pernah terjadi jika kata itu tidak pernah diucapkan. Dan bagaimana hal kecil yang tidak berarti bisa menghasilkan kekacauan?
***
Hari ini adalah hari yang paling penting dalam hidupku. Setelah sekitar 2 tahun berpacaran dengan Spencer, akhirnya dia melamarku. Dan hari ini kami akan mengadakan upacara pernikahan di kampung halaman kami, Seoul. Kurapikan kembali gaun putih yang kukenakan, memastikan tidak ada cacat sedikitpun. Kupandangi diriku di cermin. Semuanya terlihat sempurna untuk hari pernikaha
nku. Suara ketukan terdengar dari arah pintu dan akupun membukanya. Di balik pintu, Davin berdiri mengenakan tuxedo terbaiknya. Setelah beberapa lama tidak bertemu, akhirnya aku bisa melihatnya lagi, wajah sahabatku. Memang aku mengirimkan undangan pernikahanku padanya. Tapi kukira dia tidak menerimanya karena aku tidak tahu dia tinggal dimana. Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya. Bahkan tidak melalui sms sekalipun.
nku. Suara ketukan terdengar dari arah pintu dan akupun membukanya. Di balik pintu, Davin berdiri mengenakan tuxedo terbaiknya. Setelah beberapa lama tidak bertemu, akhirnya aku bisa melihatnya lagi, wajah sahabatku. Memang aku mengirimkan undangan pernikahanku padanya. Tapi kukira dia tidak menerimanya karena aku tidak tahu dia tinggal dimana. Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya. Bahkan tidak melalui sms sekalipun.
“Congratulation” itulah ucapan pertamanya ketika melihatku. Sama seperti ketika aku lulus High School. “Kau terlihat sangan cantik hari ini” ucapnya sekali lagi.
“Thanks, Davin” ucapku agak canggung. Kita tidak pernah berbicara untuk
waktu yang lama, dan ini membuatku canggung di depannya.
waktu yang lama, dan ini membuatku canggung di depannya.
“Upacaranya sudah akan dimulai. Sebaiknya kau siap-siap dan aku akan kembali ke kursiku” Ucap Davin sambil berlalu.
“Davin”, ucapku sambil menarik lengannya. Entah mengapa, aku tidak ingin melepaskannya.
“Ya?” Tananya padaku
“Ah, tidak, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih karena kau sudah datang” ucapku mengelak. Walau sebenarnya yang ingin kukatakan adalah ‘please don’t go’ .Dia hanya tersenyum dan membelai pipiku lembut, lalu pergi meninggalkanku.
Di chapel kecil itu, semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing. Aku berjalan menuju altar dengan sebuket mawar putih di tanganku. Spencer sudah menunggu di depan altar sambil memandangku dengan wajah berseri. Aku tersenyum simpul. Tetapi mataku tidak terarah padanya. Aku malah mencari sesosok sahabatku yang duduk diantara kerumunan orang-orang terdekat itu. Sampai akhirnya aku menemukannya, duduk di barisan kedua dari depan. Di depan altar, sang pastur sudah mulai memulai upacaranya. Setelah saling mengucap janji, sang pastur berkata ” jika ada yang tidak setuju dengan pernikahan ini, sebaiknya mengutarakannya sekarang atau selamanya diam” . Mataku langsung tertuju pada Davin. Hati kecilku berharap dia akan berdiri, lalu menarik tanganku pergi dari chapel ini sebelum sang Pastur mengatakan ” i now pronounce you as husband and wife”. Tapi kata-kata itu sudah terlanjur diucapkan sebelum terjadi apa-apa. Dan Spencer mencium bibirku lebut, membuat air mata menetes dari mataku. Entah itu bahagia atau duka.
***
4 tahun kemudian.
Aku tergeletak di jalanan dengan darah mengucur deras di dahiku. Pandanganku mulai kabur, tapi aku masih bisa merasakan genggaman tangan Davin di tanganku dan suara tangis Sungmin disebelahku. Sejenak aku bahagia, karena aku masih bisa mendengar suara tangisnya. Namun, rasa sakit yang tak tertahankan mulai menyergapku kembali.Aku mulai mengingat-ingat kejadian beberapa waktu yang lalu yang mengakibatkan ini semua terjadi.
Malam itu Spencer pulang ke rumah dalam keadaan marah. Dia baru saja ada masalah dengan pekerjaannya. Spencer memang orang yang tidak bisa menahan emosinya. Ketika dia baik, dia akan menjadi seorang malaikat. Tetapi, ketika dia sedang marah, maka dia akan menjadi layaknya seorang iblis, seperti saat ini. Dia memanggil namaku dengan kasar. Ketika aku menghampirinya, dia menampar pipiku. Makian keluar dari mulutnya. Dia menyalahkanku atas semua yang terjadi padanya . Tidak henti-hentinya dia memakiku, membuat aku yang sudah terduduk di lantai semakin lemas. Mataku mulai berair dan mukaku merah. Dia menjambak rambutku dan aku mulai berteriak. Aku sudah tidak tahan lagi disiksa olehnya setiap kali dia emosi. Dan ketika dia hendak menamparku untuk kedua kalinya, kuangkat vas bunga yang ada di dekatku dan kupecahkan tepat di kepalanya, membuatnya jatuh tersungkur tiba-tiba. Darah segar keluar dari kepalanya.
Aku panik. Aku tidak tahu apakah dia sudah mati atau hanya pingsan. Aku tidak berani untuk mendekatinya walaupun hanya untuk mengecek apakah dia masih bernafas atau tidak. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku segera menghambur ke kamarku, disana aku lihat Sungmin, anakku, sudah terbangun dari tidurnya, mungkin karena pertengkaran yang baru saja terjadi. Hal pertama yang ada diotakku hanyalah menyelamatkan Sungmin dan diriku sendiri dari kekacauan ini. Lalu ingatanku menerawang, mencoba mencari sebuah jalan keluar dari masalah ini. Dan yang terlintas dipikiranku adalah sebuah nomor telepon yang diberikan ketika terakhir kali aku bertemu dengan orang itu di resepsi pernikahanku. Kuangkat telepon rumahku dan mulai menekan nomor-nomor yang sudah kuhafal.
“Davin” ucapku sambil terisak.
“Carolyn? Ya Tuhan, Carolyn, apa yang terjadi?”
“Aku takut… Davin, cepat tolong ke rumahku. Aku takut” ucapku dan isak tangisku semakin besar.
“Ok, tunggu aku di sana” ucap Davin lalu mematikan teleponnya. Beberapa lama kemudian dia sudah sampai di rumahku. Setelah menceritakan semua yang terjadi, Davin akhirnya menyuruhku untuk kabur dengannya. Kubereskan barang-barangku seadanya dan langsung berlari ke mobil Davin sambil menggendong Sungmin. Dia bilang dia akan membawa kami ke pedesaan dan tinggal di sana. Mobil yang dibawanya dipacu dengan sangat kencang sedangkan aku mencoba menenangkan Sungmin yang sedari tadi masih sedikit terisak dalam pangkuanku di kursi sebelah pengemudi.
Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berjalan tepat di depan kami, dari arah yang salah. Sepertinya dikendarai oleh orang mabuk. Davin dengan terpaksa harus membanting setirnya, mengakibatkan mobil yang kita naiki itu terguling, dan karena kecepatan mobil itu, membuat tubuh kami terlontar keluar dari mobil. Aku refleks melindungi tubuh kecil Sungmin dalam pelukanku, aku memeluknya sekuat tenaga, berharap tidak ada yang akan terjadi pada tubuh mungilnya itu. Hal terakhir yang kuingat adalah aku terbaring di jalanan, dengan rasa basah di dahiku dan rasa sakit di sekujur tubuhku. Davin yang juga terpental dengan perlahan merangkak ke arahku, lalu ikut berbaring di sebelahku sambil menggenggam tanganku. Tubuhnya juga penuh dengan luka yang menganga dan darah di mana-mana. Dengan sedikit semangat yang masih tersisa dalam tubuh ini, aku mencoba memandang wajah Sungmin dan Davin bergantian, lalu memaksakan otot-otot sekitar wajahku untuk menyunggingkan seulas senyuman yang menyiratkan bahwa aku akan baik-baik saja. Sirine ambulance terdengar samar ketika kesadaranku mulai hilang dan tubuhku melemas. Sampai akhirnya kesadaranku hilang sepenuhnya dan semuanya gelap.
Siapa yang akan mengira akhirnya akan begini, rumah tanggaku yang awalnya harmonis, akhirnya berubah, Spencer yang dahulu sangatlah lembut kepadaku, akhirnya menjadi sangatlah kasar dan suka melampiaskan kemarahannya kepadaku.
Siapa yang mengira rasa cintaku kepadanya semakin lama akan semakin memudar, dan akhirnya hampir tidak menyisakan apapun diantara kami.
Siapa yang mengira akhirnya akan berakhir begini?
Seandainya saja sifat Spencer tidak berubah kepadaku, mungkin sekarang kami beserta Sungmin sekarang sedang tertawa bahagia dengan keluarga kecil kami.
0 komentar:
Post a Comment