Penunggu balasan; pecinta tulisan; pengagum terang-terangan yang teracuhkan.

Thursday, September 15, 2011

Resensi The Day I Die


Bukan Nenek Biasa


Judul : The Day I Die
Judul asli : Can’t Wait to Get to Heaven
Penulis : Fannie Flagg
Penerjemah: Dian Guci
Penyunting : Suhindrati a. Shinta
Penyelaras aksara : Ifah Nurjany, Alfiyan
Pewajah sampul : Indieguerillas


Voila Books (Penerbit Hikmah)
Cetakan I, Agustus 2008
Tebal : 524 Halaman



          Elner Shimfissle yang periang, baik hati dan suka menolong orang lain, tiba-tiba mengalami kecelakaan dan akhirnya harus berakhir di rumah sakit, sesaat kemud
ian dokter pun memberitahukan bahwa Elner meninggal dunia.
         Sontak saja berita itu membuat semua orang yang mengenal Elner menjadi sangat kehilangan sosok Elner yang begitu mereka kasihi itu.
          Masih lekat dalam ingatan Tot Whooten, tetangga Elner saat pada pagi itu, saat dirinya berjalan hendak menuju tempat kerjanya dan melewati rumah Elner,

secara kebetulan dia mendongak, tepat pada saatnya untuk melihat sang tetangga jatuh terjengkang ke belakang dari atas sebuah tangga setinggi delapan kaki, di tengah gumpalan hitam yang tampaknya terdiri atas seratus tabuan mendengung tajam di sekitarnya dan mengikuti wanita itu hingga ke atas tanah. Dia berteriak sejadi-jadinya setelah melihat Elner jatuh ke tanah.
          Ruby Robinson pun, tetangga Elner yang lain mendengar jeritan Tot Whooten, dan akhirnya berusaha menolong tetangganya itu dengan sekuat tenaganya. Ruby yang dulu pernah menjadi kepala perawat di Rumah Sakit pusat, tahu benar bagaimana cara memberikan pertolongan pertama kepada tetangganya itu. Namun, setelah di rasa pertolongannya itu tidak terlalu membuat perbedaan kepada Elner yang masih tetap tidak sadarkan diri, akhirnya dia berinisiatif untuk menyuruh Merle, suaminya untuk menghubungi ambulans dan menyuruh Tot Whooten untuk menghubungi Norma, keponakan Elner.
          Sedetik setelah menutup telepon dari Tot Whoteen, Norma yang memang orangnya mudah diserang panik dan gugup, kemudian segera menelepon suaminya untuk mengabarkan bahwa bibinya jatuh dari pohon ara. Macky, suami Norma segera berusaha menenangkan Norma setelah mendengar kabar itu, dan dia bersama Norma kemudian segera pergi ke Rumah Sakit tempat Elner di bawa dengan ambulans.
          Setelah menunggu beberapa saat di ruang tunggu, akhirnya ada seorang dokter yang datang menghampiri Norma dan Macky. Dokter kemudian mengatakan bahwa Elner, bibi mereka sudah meninggal dunia. Norma kemudian pingsan setelah mendengar berita tersebut.
          Kembali ke Elmwood Springs (tempat tinggal Elner), tetangga Elner, Ruby Robinson dan Tot Whooten telah menerima berita tentang Elner bahkan sebelum Norma dan Macky mendengarnya. Pagi itu, setelah ambulans membawa Elner berangkat, Ruby dan Tot masuk ke dalam rumah, Ruby menelepon kawannya sesama perawat, Boots Carroll, yang bekerja di Rumah Sakit Caraway, dan mengatakan bahwa tetangganya Elner tengah berada dalam perjalanan kesana, sekaligus menitipkan si tetangga agar diperhatikan oleh sang kawan. Sebagai sopan santun professional, Boots telah menelepon balik dan mengatakan bahwa Elner telah meninggal dunia. Kemudian mereka berdua, Tot dan Ruby, segera menyebarkan kabar bahwa Elner meninggal kepada semua orang yang teringat olehnya. Bahkan mereka tak lupa menelepon stasiun radio kesukaan Elner hanya untuk mengabarkan kematian Elner.
          Kabar kematian Elner menyebar begitu cepat. Semua orang menangisi  kepergiannya dan membayangkan betapa sepinya hidup tanpa sosok Elner yang ramah dan baik hati itu. Mereka bahkan sudah mengurus pemakamannya, mendaftarkan obituarinya untuk di muat di koran, ketika berita yang tak kalah mengejutkannya itu datang.
          Elner masih hidup ! Atau, lebih tepatnya kembali hidup ! Mereka jadi bingung, mau menangis atau tertawa , ya ?
          Apa yang sebenarnya terjadi?
          Novel  "The Day I Die" (judul versi Bahasa Indonesia) atau buku dengan judul asli "Can't Wait to Get to Heaven" (2006) karangan Fannie Flagg ini menceritakan seorang nenek bernama Elner Shimfissle yang mengalami mati suri setelah jatuh dari pohon ara karena disengat oleh tabuan dan mengalami perjalanannya menuju surga. Jatuh dari pohon? Ya, itu adalah salah satu petunjuk awal bahwa nenek ini bukan nenek biasa.
         Elner Shimfissle adalah seorang wanita yang periang, aktif, mandiri, supel, dan cerdas. Kalau saya bisa melakukannya sendiri, buat apa meminta bantuan orang lain. Itulah yang dipikirkannya saat berusaha memetik beberapa buah ara di pohon yang terletak di depan rumahnya. Dan Elner pun berakhir di rumah sakit.
          Dalam keadaan mati suri, Elner menjelajah menuju surga dan menemukan hal-hal yang tidak akan pernah diduganya. Saat ia bertemu Tuhan, pertanyaan-pertanyaan penting semacam "Lebih dulu mana, ayam atau telur?" akhirnya terjawab. Dan lalu kita akan menyadari bahwa di setiap persimpangan jalan kehidupan, secara tidak langsung perbuatan kita akan mempengaruhi jalan hidup orang-orang yang kita temui di persimpangan tersebut.
           Buku bergenre komedi-misteri ini memiliki beragam kejutan di dalamnya. Misteri mulai muncul saat keponakan Elner menemukan sesuatu saat merapihkan barang-barang di rumah Elner. Dengan setting kota kecil yang damai di Amerika, dengan penduduk yang saling mengenal satu sama lain, siapa yang bakal menyangka bahwa seorang nenek seperti Elner ternyata menyimpan sepucuk senjata api di tumpukan baju kotornya?
          Begitu mencapai akhir-akhir halaman buku, perlahan misteri-misteri dalam kehidupan Elner pun terkuak dan kita pun tahu bahwa Elner Shimfissle memang bukan nenek biasa.
           Karakter-karakter yang ada di dalam buku ini sangat menarik. Ada beberapa penggalan percakapan antar karakter yang (mungkin) akan membuat kita sedikit merenung tentang kehidupan. Namun, tentunya buku ini tidak usah dianggap terlalu serius dalam menjabarkan kematian, surga, dan Tuhan.
          Secara garis besar, membaca buku ini benar-benar menghibur, menghangatkan hati, dan kita akan dikejutkan dengan akhir yang tidak disangka-sangka. Menjadikannya salah satu buku favorit saya. Sayangnya buku ini belum ada rencana untuk diterjemahkan ke layar lebar.
          Oh... dan satu lagi keuntungan dari membaca buku ini:
Anda akan mendapatkan bonus resep
Caramel Cake ala surga.
          Fannie Flagg mulai menulis dan memproduksi acara untuk TV pada usia sembilan belas tahun dan terus mendapat pengakuan sebagai penulis dan artis di televisi, film, dan teater.
Flagg adalah pengarang buku-buku bestseller New York Times seperti Daisy Fay and the Miracle Man, Fried Green Tomatoes at the Whistle Shop Café ( difilmkan oleh Universal Pictures dengan judul Fried Green Tomatoes), Welcome to the World. Baby Girl!, standing in the Rainbow, dan A Redbird Christmas.
          Skenario Flagg untuk Fried  Green Tomatoes dinominasikan untuk mendapatkan Academy Awards serta Writter Guild of America awards, dan memenangi panghargaan bergengsi Scripters Awards.
         Flagg tinggal di California dan Alabama, jadi mungkin sulit bagi saya yang berdomisili di Indonesia untuk membayangkan latar yang di gambarkan olehnya dalam novel ini.

Resensator : Herlin Aniko
www.nickanicko.blogspot.com

0 komentar:

Post a Comment

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Blog Archive

Statistik Aniko

Search This Blog

Jimbon punya Dikta, kucing online-ku

Jimbon kucingnya Dikta adalah hal paling membahagiakan di internet sekarang. Kucing online-ku. Gendutnya gak kira-kira. Kelakuannya ya kayak...

Followers

Copyright © Anikoiy | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com