Rain
“Hu.. Huatcho!”
srrrt….
“Heh… kamu pasti ujan-ujanan lagi ya?”Tanya orang di sampingku.
“Woy…! Louise Skellington…!! Kau tidak mendengarku ya,,??” tanya orang di sebelahku lagi, kali ini dengan nada sangat ngotot.
“Hehe…” akhirnya, aku hanya cengar-cengir pada Brian yang sedari tadi duduk di sebelahku.. Oh ya, aku dan Brian duduk di kelas 1 SMA, kami sekelas. Selain itu kami juga bertetangga. Rumah kami berhadapan dan otomatis kami pun berteman sejak dulu.
Kami menikmati angin sepoi siang itu sambil duduk-duduk di atas bangku kayu panjang, di taman sekolah. Brian sudah hafal sekali dengan kelakuanku dan hobiku yang terkadang suka hujan-hujanan ini, begitu juga sebaliknya. Entah bagaimana kami bisa bersahabat, aku yang pecicilan serta Brian yang cool namun terkadang hobi sekali mengomel. Tapi, aku merasa senang berada di dekatnya. Seakan semua rasa bosan dan penat menguap dengan mudahnya ketika mulut elastisnya itu mulai berkomentar macam-macam.
***
Siang itu sepulang sekolah, aku berjalan menyusuri koridor sekolah untuk mencari sosok Brian yang tak kunjung ketemu juga. “ Ini anak kemana sih? mojok di WC sekolahan apa?” gerutuku pelan. “Giliran aku yang butuh, dia malah ngilang! katanya mau pulang bareng!”
Aku berjalan di sepanjang lorong dengan deretan kelas 12 disamping-sampingnya. Tiba-tiba langkahku berhenti ketika pandanganku tertuju pada sesosok bertubuh tinggi, sedang mengendap-endap di depan pintu ruang kesenian. Sosok itu berdiri terpaku di depan pintu dan mengintip ke dalam ruang seni melalui kaca persegi kecil di tengah-tengah pintu.
“Brian, kamu ngapain?”
Bukannya menjawab, Brian malah melambaikan tangannya pertanda menyuruhku mendekat dan ikut mengintip. Aku pun mendekat dan berusaha melongok melalui kaca kecil di pintu itu.
Aku mencoba menemukan apa yang sedari tadi dipandangi olehnya.
“Nicole?”
“Sssst…!” Brian membungkam mulutku dan menyuruhku diam. “Kamu lihat? Gila, keren banget main pianonya! ya ampun tuh anak… udah cantik, baik, pinter main piano pula… Perfect deh!” lanjutnya penuh semangat.
“Eh…” aku teringat sesuatu“Brian. Ayo cepet pulang! trus kamu ke rumah aku, bantuin PR fisika! segera…” tanganku menarik tubuh Brian menjauh dari ruang kesenian.
“Eh… eh… aku masih pengen liat Nicole main…” Brian mencoba melepaskan dirinya dari tarikanku.
Aku berusaha menariknya dengan lebih kuat, hingga membuat Brian terpaksa meninggalkan ruang kesenian dan Nicole yang masih menekan tuts-tuts pianonya dengan anggun.
***
KRIIING…! KRIIING…!
“Haloo?”
“aku kerumah kamu ya sekarang…”
“Hah? Brian ya? mo ngapain?”
“Ada deh… ntar aku ceritain. Tunggu ya…. ya…”
“Oke, aku tunggu di teras,”
“Oke deh. dah,”
Tut… tut… telepon ditutup dari seberang. Nggak biasanya Brian girang banget begini. Pasti ada yang nggak beres dengan otak anak itu. Dasar Mr. aneh!
10 menit kemudian… Brian belum juga datang.
“Louise~!”
Aku sontak menengok ke sumber suara. Tampak Brian dengan motorsportnya memasuki halaman rumahku. Baru saja dia sampai di hadapanku, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
“Yaa… ujan..”
Brian balik badan dan kembali ke motornya, kemudian memindahkan motor kesayangannya itu ke garasi rumahku. Kemudian dia kembali ke hadapanku dengan senyum terkembang yang membuatnya makin ganteng.
“Kamu kenapa Brian? Salah makan yaa?”
Brian masih tersenyum lebar padaku yang menatapnya penuh keheranan.
“Coba tebak…” dia semakin membuatku penasaran dengan wajah jahilnya.
“Apaan sih Brian?”
“Ehm.. ehm…” tiba-tiba Brian perlahan mulai bicara…
“Aku…”
“Aku…”
“Aku…”
“Aku jadian sama Nicole…!!” katanya dengan penuh semangat.
Aku menatap kosong Brian yang masih menari-nari girang di teras rumahku. “Tau nggak Louise, aku tadi ke alun-alun ketemu Nicole… emang jodoh ya. Kita berdua ngobrol dan ngobrol dan entah kerasukan jin apa aku nekat nembak dia. Dan kamu tau Louise… dia… dia langsung nerima aku… gila…”
Brian berputar-putar dengan girangnya di hadapanku yang masih menatapnya. Dia menggenggam tanganku dan mengajakku menari, tapi tubuhku hanya terdiam menatapi Brian yang sepertinya tak bisa mengendalikan kebahagiannya. Brian berlari kesana-kemari di teras rumahku. Sedangkan mataku hanya mengekor kemanapun Brian melangkah.
“Aku seneng Louise… aku seneng…”
Tiba-tiba, entah kenapa kakiku bergerak sendiri dan membawaku ke arah halaman. persis di sebelah teras rumah.
“Kemana Louise?” Brian yang melihatku sontak menghentikan loncatannya dan menatapku dengan alis ditautkan. Aku terus berjalan keluar menembus hujan. Sekarang aku berdiri di tengah-tengah halaman dengan guyuran air yang cukup deras, sambil menghadap ke arah Brian yang masih memandangiku dari teras.
Dengan segenap hati, aku tersenyum.
“Selamat ya Briiiann…!!” aku berteriak kencang mengalahkan suara hujan. Aku tersenyum pada Brian. Perlahan aku mulai menengadahkan wajah dan merentangkan tangan bak pesawat yang ingin lepas landas. Kemudian aku berputar-putar dan berlari mengelilingi halaman dalam keadaan basah kuyup.
Brian yang melihat tingkahku akhirnya meloncat-loncat kegirangan dan kembali menari-nari di teras rumah. Mataku menatap senyumnya yang terkembang.
Brian terus menari. Perlahan aku menjejakkan kakiku dan menghentikan langkahku. Aku hanya menggerak-gerakkan tangan sebentar sampai akhirnya berhenti menari. Bibirku tersenyum samar menatap polah Brian yang masih kegirangan. Astaga…manis sekali dia… seperti anak kecil saja. Tapi kali ini, entah kenapa dadaku terasa sesak sekali. Kupandang langit yang masih mencurahkan isinya seperti sebuah shower raksasa, dan kurasakan tetesan hujan jatuh satu-persatu ke dahiku yang kemudian mengalir ke daguku.
Brian…
Apa kau… bahagia?
Selamat berbahagia ya, sahabatku…

Hujan…
Aku suka hujan…
Karena…
Hanya dibawah hujanlah….
Air mataku takkan tampak…
Hujan memang bisa membawa pergi air mataku,
Membawanya larut bersama alirannya.
Tapi hujan tak bisa melarutkan masalahku bersamanya.
Andai bisa melarutkan seluruh bebanku,
Diguyur hujan selamanya pun aku sanggup
0 komentar:
Post a Comment