Iya, semuanya ada karena berasalan. Dan semua hanya mencari alasan dan membuat alasan. Entah apa alasanmu awalnya, tapi dengan permohonan itu kita terhubung juga.
Singkat, tak basa-basi. Ajakan dan penolakan silih berganti. Tak berusaha malah aku yang mencari.
Menjawabmu seadanya malah membuat rindu di hati.
Aku menunggu kau bertanya aku dimana.
Kemudian aku akan dengan sengaja tak langsung membalasnya. Sengaja sejam bahkan dua jam kemudian baru membacanya. Lalu kebanyakan berfikir, dan membalasnya lebih lama lagi. Kau kesal? Aku sengaja.
Aku bingung menyikapi kelakuanmu yang seakan mau seakan tidak. Bahkan lebih cenderung ke tidak sepertinya. Karena pernah sekali di hadapanku kau membahas tentang dia. Tidak ingin salah paham dan kegirangan, aku mengabaikanmu. Aku melindungi hati kecilku.
Bulan ke empat bagai kriptonite (baca: kriptonait, kristal yg membuat Superman lemah), membuat aku harus mencari alasan untuk mencari matahari. Kau. Mengabaikan logika yang kujunjung, aku mengiyakan ajakanmu. Tak berfikir.
Untuk pertama kalinya kau menelponku. Itulah pertama kali kita duduk di meja yang sama dan menghabiskan berjam-jam hanya untuk cerita. Selanjutnya kau semakin dingin. Dingin dan mendingin dimakan usia.
Mungkin sudah tak ada alasan lagi untukku. Atau awalanya memang bukan aku yang menjadi alasan?
Memandang senyummu dari kejauhan seperti matahari kecil buatku. Walau kau matahari, ternyata bulan lebih kuat darimu. Satu bulan akan memisahkan kita. Satu bulan lagi.
Bolehkan aku mengirimkan undangan sekali lagi? Sebelum akhirnya kamu pergi?
Pantai yang kusuka atau kopi yang selalu kau minta?
Jawab pertanyaanku A.
0 komentar:
Post a Comment